Meningkatnya Gelombang Keterasingan Keluarga: Mengapa Anak-anak Dewasa Memutuskan Hubungan

4

Episode podcast Oprah baru-baru ini menyoroti tren yang sedang berkembang: anak-anak dewasa memutuskan kontak dengan orang tua mereka. Diskusi tersebut, yang menampilkan kisah-kisah pribadi dan wawasan para ahli, mengungkap dinamika kompleks di mana batasan-batasan, hak-hak, dan harapan-harapan sejarah berbenturan. Salah satu terapis, Dr. Joshua Coleman, memicu kontroversi dengan mengatakan bahwa keterasingan sering kali merupakan respons yang salah terhadap kelemahan orang tua, dan menganggapnya sebagai “masalah” dan bukan solusi.

Coleman berpendapat bahwa pergeseran norma-norma sosial – yang dipicu oleh konten media sosial yang melabeli keluarga sebagai “beracun” – dan bahasa terapeutik yang membuat orang tua menjadi patologi (“narsisis,” “gaslighting”) mendorong reaksi dini. Dia menggambarkan keterasingan sebagai tindakan “baik” untuk melindungi kesehatan mental sekaligus mencap mereka yang memilihnya sebagai “penghindar konflik” dan “reaktif berlebihan.” Perspektif ini mengabaikan kenyataan bahwa banyak keterasingan tidak terjadi secara impulsif, melainkan merupakan puncak dari kegagalan komunikasi dan pelecehan selama beberapa dekade.

Perdebatan ini bukanlah hal baru. Sama seperti perceraian yang dulunya tabu, keterasingan keluarga kini muncul dari bayang-bayang. Sebelumnya, budaya yang diharapkan adalah menjaga ikatan keluarga dengan segala cara, seringkali dengan mengorbankan kesejahteraan individu. Pola ini mencerminkan ketidakseimbangan kekuasaan di masa lalu yang mana mereka yang memiliki hak pilihan yang lebih rendah – seringkali perempuan – ditekan untuk tetap berada dalam hubungan yang destruktif. Saat ini, perbincangan mulai berubah, seiring dengan semakin besarnya kesadaran bahwa batasan yang sehat itu penting, dan bahwa orang dewasa mempunyai hak untuk melindungi diri mereka dari bahaya.

Pengalaman pribadi menggambarkan hal ini. Seorang penulis merinci perjuangannya selama 50 tahun menghadapi seorang ibu yang terus-menerus mengabaikan perasaannya dan meremehkan pilihan hidupnya. Memutus kontak menjadi satu-satunya solusi yang layak setelah upaya rekonsiliasi yang gagal selama beberapa dekade. Hal ini sejalan dengan pengalaman yang dibagikan di podcast, di mana seorang pemuda menjelaskan bahwa memutuskan hubungan adalah langkah penting untuk melindungi anak-anaknya dari dinamika beracun.

Meskipun Coleman membingkai keterasingan sebagai kegagalan berkomunikasi, kenyataannya seringkali jauh lebih berbeda. Pengalamannya sendiri dengan putrinya mengungkapkan bahwa perubahan terjadi hanya setelah beberapa saat berpisah, ketika dia akhirnya mendengarkan alih-alih membela diri. Prinsip yang sama berlaku secara menyeluruh: keterasingan dapat menjadi katalis untuk refleksi dan perbaikan diri.

Isu intinya bukan sekedar komunikasi yang lebih baik, namun juga pengakuan hak untuk menetapkan batasan. Sama seperti hubungan yang sehat yang memerlukan rasa saling menghormati, dinamika keluarga juga harus mengakui bahwa orang dewasa memiliki otonomi untuk memilih jalan mereka sendiri. Reaksi yang muncul saat ini terhadap keterasingan mencerminkan penolakan terhadap perubahan sikap terhadap pernikahan, yang mengharuskan kendali harus digantikan dengan negosiasi.

Pada akhirnya, dampak paling kuat datang dari mereka yang memilih keterasingan: kebebasan untuk merasakan kedamaian. Seperti yang dikatakan oleh seorang wanita di podcast, memutuskan hubungan memberinya kejelasan dan landasan. Pergeseran perspektif ini bukan tentang menghukum orang tua, namun tentang memberdayakan individu untuk memprioritaskan kesejahteraan mereka sendiri. Orang tua yang menghormati otonomi anak-anak mereka akan menyadari bahwa perdamaian lebih berharga daripada kendali.