Kasus Aneh dari Kemarahan Konservatif Atas Sweater Merah Muda

13

Sweter J.Crew yang tampaknya tidak berbahaya – rajutan Fair Isle berwarna merah muda cerah untuk pria – telah memicu perdebatan sengit di kalangan kaum konservatif di dunia maya, yang menunjukkan betapa tertanamnya ekspektasi gender dalam budaya modern. Kehebohan tersebut, yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti pensiunan perawat Juanita Broaddrick dan juga didukung oleh anggota Kongres Partai Republik dari Tennessee, Tim Burchett, menggarisbawahi sejauh mana pilihan warna pun dapat menjadi medan pertempuran dalam perang budaya yang sedang berlangsung.

Reaksi Tak Terduga

Kontroversi dimulai ketika Broaddrick, seorang agitator konservatif online terkemuka, mempertanyakan apakah ada pria yang berani mengenakan sweter seharga $168 itu. Tanggapan yang diberikan sangat cepat dan mudah ditebak: banyak yang mengolok-olok pakaian tersebut sebagai pakaian yang dikenakan oleh “kaum liberal” atau “perkumpulan mahasiswi”, bahkan ada yang membingkainya sebagai serangan terhadap maskulinitas. Pembawa acara Fox News, Will Cain, mengambil umpan itu, mengenakan sweter itu sebentar untuk mengejeknya.

Intensitas reaksinya menimbulkan pertanyaan kunci: mengapa sweter merah muda memicu perasaan yang begitu kuat? Pakar media mode Myles Ethan Lascity berpendapat bahwa bukan hanya warnanya, tetapi kombinasi warna merah jambu dengan “area leher bermotif bunga” (walaupun sebenarnya desain geometrisnya) yang memicu kemarahan. Namun, bahkan membingkainya hanya sebagai “merah muda” membawa beban budaya.

Sejarah Warna Berdasarkan Gender

Kaitan Pink dengan feminitas merupakan fenomena yang relatif baru. Hingga awal abad ke-20, merah muda sering dianggap sebagai “warna anak laki-laki”, sedangkan biru diperuntukkan bagi anak perempuan. Pergeseran ini, yang dieksplorasi oleh sejarawan pakaian Jo Paoletti dalam bukunya “Pink and Blue,” menyoroti betapa sewenang-wenangnya penetapan gender. Namun, pengondisian budaya sangat mendalam.

Seperti yang dikemukakan oleh sejarawan mode Deirdre Clemente, warna merah muda secara historis sulit mendapatkan daya tarik dalam pakaian pria, sering kali dianggap “pesolek” atau bahkan “gay”. Satu-satunya pengecualian adalah estetika “coke chic” pada tahun 1980-an, di mana warna merah muda dianut bersamaan dengan kekayaan dan status yang berlebihan.

Pemberian Sinyal Kelas dan Budaya

Kemarahan terhadap sweter tidak bersifat universal. Lascity menyarankan agar seseorang seperti Tucker Carlson, dengan kepekaannya yang rapi, dapat memakainya tanpa ragu-ragu. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan kelas: meskipun sweter tersebut mungkin menyinggung perasaan orang-orang di kalangan MAGA, sweter tersebut juga tidak akan ketinggalan zaman di kalangan kaum konservatif yang lebih kaya dan lebih sadar akan mode.

J.Crew, yang menyediakan versi “persiapan” yang dapat diakses, kemungkinan besar mengantisipasi reaksi ini. Kehilangan segmen pelanggan anti-merah jambu mungkin tidak menjadi masalah, karena mereka bukanlah target demografis mereka.

Implikasi yang Lebih Luas

Perdebatan yang tampaknya sepele ini mengungkap sesuatu yang lebih dalam: kebijakan kaku terhadap norma-norma gender dan kegelisahan seputar dugaan pelanggaran maskulinitas. Paoletti berpendapat bahwa pakaian hiper-gender berkontribusi pada sistem yang menekan anak-anak untuk menyesuaikan diri, dan menghukum setiap penyimpangan dari ekspektasi. Kemarahan terhadap sweter berwarna merah muda adalah gejala dari tekanan budaya yang lebih luas.

Pada akhirnya, kontroversi ini merupakan pengingat bahwa bahkan di abad ke-21, pakaian tetap menjadi simbol identitas dan kepemilikan sosial—dan bahwa beberapa orang akan secara agresif mempertahankan batasan tersebut.